Kisah Bilal


Bagi seorang budak, pergi menjumpai Nabi SAW. Bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah. Keluar rumah majikannya untuk keperluan sendiri pun tidak bisa. Apalagi untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW, yang menjadi musuh kaum musyrikin Quraisy. Musuh majikan Bilal sendiri!
Dengan susah payah, akhirnya Bilal bin Rabah berhasil menjumpai Nabi Muhammad SAW. Ia menyatakan maksudnya untuk masuk Islam. Nabi mengajarkan cara-cara masuk Islam dengan berwudhu (bersuci), lalu mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian melakukan shalat dua rakaat.

Betapa bahagia dan beruntungnya Bilal, karena Nabi sendiri yang mengajarkan syariah Islam kepadanya. Namun, keislamannya harus disembunyikan. Sangat berbahaya jika majikannya tahu akan hal itu. Untuk itu, Bilal menjalankan perintah agamanya secara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, pada akhirnya ketahuan juga.

Umayyah bin khalaf marah besar. Terkutuklah budaknya yang berani-beraninya menjadi pengikut Muhammad itu! Sesaat Umayyah bin Khalaf kehilangan akal. Bagaimana dia bisa lengah menjaga budaknya? Bagaimana sampai si budak tidak ketahuan pergi diam-diam menjumpai Muhammad?
Dalam hati, Umayyah bin Khalaf sebenarnya mengakui kelebihan-kelebihan Muhammad. Bahwa anak Abdullah itu, si Muhammad, memang orang yang sangat jujur. Orang yang tidak pernah berdusta. Dia, juga berperilaku sangat sopan, rendah hati, ramah. Pendek kata, banyak hal yang baik pada diri Muhammad itu. Namun, bahwa dia mengajarkan agama baru yang bertentangan dengan agama kaum Quraisy, itulah yang salah besar menurut Umayyah bin Khalaf. Itu tidak boleh dibiarkan. Harus diperangi, dimusuhi, dan jika mungkin dibasmi!
Umayyah punya sahabat bernama Uqbah bin Mu’ith. Uqbah mendengar perihal budak Umayyah yang masuk Islam itu.

“Celakalah engkau Umayyah!” katanya. “budakmu menjadi pengikut orang yang menghina agama kita. Yang menghina tuhan-tuhan kita Al-Laata dan Al-Uzza!”
“Ya. Celakalah budak itu. Apa yang harus kulakukan terhadapnya?”
“Siksa dia sampai mau meninggalkan agamanya yang sesat itu!”
“Akan kusiksa dia sampai mati kalau dia tidak mau meninggalkan kesesatannya!”
Kesesatan! Siapakah yang sesat ? Si budak Habsyi yang telah menganut agama kebenaran atau mereka yang menyembah berhala-berhala mati itu? Orang-orang sesat itu menganggap yang benarlah yang sesat!

Matahari sedang terik-teriknya. Padang pasir menjadi bagaikan hamparan bara. Pada saat seperti itu, Bilal bin Rabah ditelanjangi lalu diseret ke tengah padang pasir. Tidak terbayangkan betapa panas butir-butir pasir itu. Bilal ditelentangkan. Matahari dipuncak langit membakar bagian depan tubuhnya. Sementara punggungnya disengat panas pasir yang bagaikan bara api.
Tidak itu saja yang dialaminya. Seorang musyrikin yang menjadi algojo penyiksa, mengambil sebongkah batu besar. Batu itu diangkat tinggi-tinggi, lalu dijatuhkan ke dada Bilal!Batu itu berat sekali, juga panas tidak kepalang. Batu itu menghantam dada Bilal sampai tulang-tulang iganya patah dan terus dibiarkan menindih dada. Mengimpit dengan beratnya, dan membakar dengan panasnya.

“Ingkari agama sesat ajaran Muhammad!” seru algojo penyiksa Bilal. “Siksaan ini akan dihentikan bila engkau meninggalkan kesesatanmu!”

Bilal tidak sudi mengingkari keyakinan dan keimanannya.

“Ucapkan Al-Laata dan Al-Uzza. Namun, apa yang terdengar dari mulut Bilal?
“Ahad…..Ahad…..Ahad…..” Begitu yang didengar Umayyah bin Khalaf dan para algojo yang menyiksa Bilal.
“Apa yang kau katakan?” jerit Umayyah bin Khalaf dengan kalapnya.
“Ahad….Ahad…..Ahad…..”
Bilal hanya berucap begitu berulang-ulang. Maksudnya adalah Allah yang Maha Tunggal atau ‘Allah yang Maha Esa’.

Siksaan dilanjutkan. Berbagai cara keji dan kejam dilakukan hingga hampir tidak ada bagian tubuh Bilal yang tidak terluka. Namun dia tetap tabah. Dia tetap mengucapkan Ahad….Ahad. tidak sudi memuji dan menyerukan Al-Laata dan Al-Uzza seperti yang diharapkan para penyiksanya.

Umayyah bin Khalaf dan para algojo kehilangan akal. Bagaimana lagi cara menyiksa Bilal, supaya budak Habsyi itu menyerah?

Hari telah sore. Sinar matahari tidak sepanas bara lagi. Siksaan itu dihentikan. Bilal akan dibawa pulang ke rumah Umayyah bin Khalaf. Akan tetapi, tidak begitu saja disuruh berjalan. Lehernya diikat seperti kambing. Lalu Umayyah bin Kalaf memanggil anak-anak kecil. Disuruhnya anak-anak itu menggiring Bilal melalui lembah dan bukit-bukit. Mereka bersorak-sorai riuh. Memukul, mencakar, dan meludahi Bilal sepanjang jalan.

“Ini pelajaran bagi budak-budak lain yang berani menjadi pengikut Muhammad!” kata Umayyah bin Khalaf. “Juga pelajaran bagi para pemilik budak. Mereka harus mewaspadai budak-budaknya.”

Siksaan itu diulanginya keesokan harinya. Demikian pula lusanya. Namun, Bilal tidak mau menyerah. Dari mulutnya terus terdengar Ahad……Ahad……Ahad.

Seorang Quraisy datang dan berseru ketika Bilal sedang disiksa.

“Hentikan!” katanya dengan suara lantang. Apa yang kalian lakukan ini? Menyiksa seorang budak dengan sekejam ini? Lepaskan dia!”

Orang itu tampaknya berpengaruh. Bilal dilepaskan dan ikatan ditubuhnya dibuka. Orang Quraisy itu lalu memberinya minum. “Terima kasih……” ucap Bilal dengan suaranya yang lemah. Ia sungguh tidak berdaya. Seluruh tubuhnya penuh luka. Seluruh tulangnya bagaikan remuk belaka. Bernafas pun sangat menyakitkan dadanya. Bicara sangat menyakitkan rahangnya.

“Mengapa kau keras kepala begitu, Bilal?” Tanya orang Quraisy itu. “Mestinya lunakkan hatimu, supaya siksaan ini tidak terus menerus kau terima. Kau sendiri yang merugi.” Bilal diam mendengar ucapan orang Quraisy ini.

Umayyah bin Khalaf itu merasa malu jika menghentikan siksaan sebelum kau menuruti kehendaknya,” kata orang Quraisy itu dengan kata-kata lembut. “Ucapkanlah Al-Laata dan Al-Uzza, meskipun tidak dengan sepenuh hatimu. Supaya Umayyah bin Khalaf menghentikan siksaan ini tidak dengan rasa malu.”

“Ahad…..Ahad……Ahad…..” terdengar dari mulut Bilal ucapan itu.

Orang Quraisy itu marah. Dia serentak berdiri. Terkutuk! Kamu memang budak celaka! Siksa dia sampai mati!” Teriaknya.

Ternyata itu memang siasat para penyiksa Bilal. Ada yang membujuk dengan kata-kata manis supaya Bilal menyerah. Namun, budak Habsyi itu tetap pada pendirian dan keyakinannya. Mati baginya tidak menjadi persoalan lagi. Sakit bukan hal yang menakutkan. Bukanlah dia telah mengalaminya selama berhari-hari ini? Dia tidak mati juga, tentunya karena Allah tidak menghendakinya.

Bilal kembali disiksa. Begitu berjalan sampai berhari-hari. Para penyiksanya sampai jenuh dan bosan. Kehilangan akal untuk menaklukkan budak yang keras kepala itu.

Penganiayaan terhadap budak yang memeluk agama Islam pada waktu itu sering terjadi, bahkan ada yang sampai mati. Orang-orang musyrikin Quraisy bisa menyiksa budak sampai mati. Mereka tidak khawatir akan tindakan balas dendam dari kerabat si budak sebab para budak itu tidak mempunyai kabilah (kaum / keluarga besar).

Berbeda dengan orang yang bukan budak. Kerabat dan anggota kabilahnya pasti akan menuntut balas. Menyiksa budak itu sangat aman. Bukankah budak tidak lebih dari binatang ternak bagi mereka?

Penyiksaan terhadap Bilal ini didengar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Orang ini telah memeluk Islam. Dulu ia mempunyai banyak sekali budak karena dia orang kaya. Di masyarakat Quraisy pada waktu itu, semakin kaya seorang akan semakin banyak memiliki budak. Kini Abu Bakar Ash-Shiddiq telah membebaskan budak-budaknya, karena Islam menentang perbudakan. Tinggal seorang budak negro yang masih belum dimerdekakan.

Abu Bakar mendatangi tempat penyiksaan Bilal bin Rabah. Dengan iba disaksikannya penyiksaan yang kejam tidak berperikemanusiaan itu. Para algojo penyiksa itu sudah berlaku bagai binatang saja. Tidak punya rasa belas kasihan sedikit pun terhadap manusia lemah yang kebetulan derajatnya dianggap serendah ternak karena dia budak.

“Apa kau tidak malu menyiksa orang yang lemah itu?” tegur Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada Umayyah bin Khalaf.
Engkaulah yang merusak kepercayaannya dan engkau pula yang menjauhkannya dariku!” seru Umayyah bin Khalaf dengan geramnya. Ia tahu, Abu Bakar Ash-Shiddiq itu orang Islam, sama seperti Bilal.

“Aku mempunyai seorang budak negro yang kuat. Jauh lebih kuat dari pada orang yang kau siksa itu. Ia akan kuserahkan kepadamu. Kutukar dengan budak lemah itu.”

Umayyah bin Khalaf benar-benar telah kehabisan akal untuk mengatasi kebandelan budaknya itu. Ia sendiri sudah ingin mengakhiri penyiksaan itu, karena dia tahu Bilal tidak akan mau menyerah. Namun, jika menghentikan penyiksaan tanpa alasan, dia akan merasa sangat malu.
Kini ada orang yang menawarkan pengganti Bilal.

“Bawa kesini budak negro itu,” kata Umayyah bin Khalaf.

Budak negro itu dipanggil. Inilah saat yang paling bersejarah bagi Bilal. Ia telah pasrah dan rela mati asalkan tetap dalam iman Islamnya. Ia pun menyangka tidak lama lagi ajalnya akan tiba karena tubuhnya tidak tahan lagi terhadap siksaan berat itu. Tiba-tiba ada orang menyelamatkannya!

Ia dilepaskan dari tali yang mengikatnya. Tubuhnya lunglai sehingga Abu Bakar harus memapahnya ketika membawanya pergi dari tempat itu. Bilal berlutut di depan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

“Terima kasih, Tuan…….” katanya lemah sekali. “Kini hamba menjadi milik Tuan…..”.

“Tidak,” Kata Abu Bakar Ash-Siddiq. “Kau kumerdekakan”.

Dimerdekakan adalah hal yang sangat luar biasa bagi seorang budak. Artinya, dia dibebaskan dari perbudakan. Dia menjadi orang yang merdeka yang tidak diperbudak oleh siapapun. Bilal bagaikan tidak percaya akan apa yang didengarnya. Namun sungguh ia benar-benar mendengar ucapan itu. Ucapan yang keluar dari mulut seorang muslim sejati. Orang yang telah memerdekakan budak-budaknya. Tidak dianggapnya bahwa itu merupakan kerugian besar baginya, padahal budak-budak itu dulu dibelinya dengan mahal di pasar budak.

Islam mengajarkan persamaan hak setiap manusia. Di mata Allah, derajat manusia sama. Yang membedakannya adalah amal ibadah mereka.

Bilal bukan satu-satunya budak yang disiksa yang dibebaskan oleh Abu Bakar Ash-Siddiq. Masih banyak lagi budak muslim yang disiksa dan dibeli oleh Abu Bakar Ash-Siddiq, kemudian dibebaskan. Diantaranya adalah Amir bin Fuhairah, budak-budak perempuan bernama Labibah, Zinnirah, dan An-Nahdiyyah.

Bilal bin Rabah kemudian menjumpai Nabi Muhammad SAW. Ia tetap bersama Nabi sampai ikut hijrah ke Madinah. Sejak saat itu Bilal tidak pernah terpisahkan dari Nabi.

Muaffak Sang Haji Mabrur


Suara azan subuh baru saja bergema dari menara masjid di pusat kota Damsyik. Muaffak dan isterinya segera menggelar sajadahnya. Keduanya lalu tanggelam dalam do’a yang khusuk. Lama sekali laki-laki itu bermunajat di atas sajadahnya.
Ia baru beranjak setelah matahari memancarkan cahayanya yang hangat. Lalu bergegas menyiapkan peralatan sepatunya. Sebentar kemudian, ia pun mulai disibukkan dengan pekerjaannya. Ia memang mahir dalam memperbaiki sandal, sepatu, dan terumpah yang rusak. Muaffak, lelaki miskin namun ulet bekerja untuk memperbaiki keadaan hidupnya. Di rumah yang kecil dan sederhana, ia tinggal bersama isterinya yang sedang hamil.
Muaffak mempunyai keinginan besar untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi karena hidupnya yang tidak berkecukupan, keinginan itu hanya tinggal keinginan belaka. Sebab perjalanan haji dari Damsyik ke Makkah tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Namun, rupanya lelaki saleh itu tidak berputus asa. Ia selalu berbaik sangka dan bekerja dengan sungguh-sungguh.
“Biarpun pekerjaanku hanya sebagai tukang sepatu, aku harus bisa menabung sedikit demi sedikit. Insya Allah jika tabunganku mencukupi, aku dapat beribadah haji juga kelak,” tekat Muaffak sunguh-sunguh.
Dia semakin giat bekerja tanpa mengenal lelah. Setiap hari dicarinya order sepatu atau sandal orang yang rusak untuk diperbaiki. Dengan setia, isterinya selalu membantu Muaffak. Sampai bertahun-tahun kemudian, ia dapat mengumpulkan uang sebanyak tiga ratus dirham. Dalam benak dan perasaannya, Muaffak sudah dapat mengongkosi dirinya pergi naik haji dengan uang tabugan itu. Betapa gembira hatinya tidak terkira. Keinginannya untuk menginjakkan kakinya ke tanah suci, berdo’a di depan ka’bah, berziarah ke makam nabi saw, sebentar lagi akan terwujud. Ia tinggal menunggu musim haji tiba.
Muaffak bertetangga dengan seorang janda miskin dengan beberapa anaknya yang yatim. Ia sering memperhatikan perempuan itu pulang hingga malam hari untuk mencari nafkah bagi anak-anaknya.
Suatu malam, Muaffak melihat janda miskin itu baru pulang dengan membawa bungkusan. Rupanya ia baru saja mencari nafkah sekadarnya. Terlihat kesedihan dan kelelahan di wajahnya yang keriput. Anak-anaknya menyambut dengan suka cita dalam keadaan perut yang lapar.
“Kasihan tetangga kita itu, dia banting tulang sendirian demi anak-anaknya,” desis isteri Muaffak.
Beberapa saat kemudian, terciumlah bau sedap masakan dari kediaman janda miskin itu. Dan rupanya aroma masakan itu tercium pula oleh isteri Muaffak yang sedang mengandung itu.
“Masya Allah! Masakan sipakah ini? Sedap nian kiranya….” bisiknya sambil menelan air liur. Tiba-tiba saja ia merasa ingin mencicipi masakan yang sedap itu.
Mungkin bawaan cabang bayi yang dikandungnya.
Iapun segera mencari tahu darimana asal masakan itu. Begitu tahu kalau masakan tersebut dari rumah janda miskin itu, dimintanya Muaffak untuk menemuinya.
Demi menyenangkan hati isterinya Muaffak mendatangi rumah tetangganya.
“Maaf bu, iteri saya mencium bau masakan enak yang ibu buat. Ia menginginkan masakan itu barang sedikit saja. Bolehkah kami memintanya bu?” kata Muaffak baik-baik.
Perempuan itu tertegun. Air mukanya berubah sedih. Lalu dengan pilu ia berkata, “Saya segan mengatakan asal-usul masakan ini. Tapi karena kebaikan kalian berdua, saya ceritakan yang sebenarnya. Sejak beberapa hari yang lalu, persediaan makanan kami habis. Dari kemarin saya sudah berusaha mencari nafkah, tapi tak memparoleh hasil. Padahal anak-anak saya butuh makan.” Sejenak perempuan itu menghela nafasnya yang berat. “Tadi saya menemukan bangkai keledai di jalan. Karena sudah lelah, saya nekat memotongnya lalu saya masak untuk dimakan.
“Bangkai makanan itu haram bagi anda. Tapi halal bagi kami yang dalam darurat…,” katanya selanjutnya dengan mata yang berlinang.
Muaffak terperanjat. Ia sangat iba. Lalu bergegas pulang. Diambilnya simpanan uangnya yang tiga ratus dirham itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia berikan uang yang diperolehnya dari hasil kerja keras selama ini.
Padahal, uang itu sudah diniatkan untuk ongkos naik hajinya.
“Terimalah uang ini untuk anak-anak yatimmu, bu,” ugkapnya dengan ikhlas.
Betapa terharunya janda miskin itu. Mereka tidak akan kelaparan lagi untuk waktu yang cukup lama.
“Terimakasih, tuan sudah bermurah hati menolong kami dari kelaparan,” ucap perempuan itu tertunduk.
“Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikan tuan. Semoga Allah akan membalasnya dengan rahmat yang berlimpah.“
Mendengar do’a permpuan itu, Muaffak menitikkan air mata.
Musim hajipun tiba. Muaffak batal menunaikan ibadah haji karena uangnya sudah tidak ada lagi. Tapi hati laki-laki itu bahagia, bisa menolong kesengsaraan seorang janda miskin dan anak-anaknya yang miskin.
Pada musim haji waktu itu, salah seorang ulama besar, Abdullah bin Mubarak, menunaikan ibadah haji. Suatu sore, seusai tawaf berkali-kali ia merasa sangat letih. Lalu, iapun beistirahat di Hijr Ismail. Antara tidur dan tidak, tiba-tiba ia mendengar percakapan dua malaikat.
“Berapa orang yang menunaikan ibadah haji tahun ini?”
“Enam ratus ribu orang.”
“Kira-kira berapa orang yang hajinya diterima Allah?”
“Tak seorangpun!”
“Tapi seorang tukang tambal sepatu dari Damsyik yang bernama Muaffak diterima hajinya oleh Allah, kendati Ia tidak menunaikan ibadah haji. Dan berkat hajinya orang inilah, maka semua jamaah haji sekaranng diterima juga oleh Allah.”
Begitu malaikat itu menghilang, Abdullah bin Mubarak tersadar dari setengah tidurnya.
“Masya Allah! Amal perbuatan apa yang telah dilakukan Muaffak? Begitu besar pengaruhnya disisi Allah…,” bisik Abdullah terpesona.
Selesai ibadah haji, ulama besar itu bergegas ke Damsyik. Ia ingin sekali menemui Muaffak. Dan begitu bertemu, ulama itu langsung menceritakan kejadiannya waktu di Hijr Ismail. Muaffak sendiri baru menyadari, lalu bersyukur atas karunia itu kehadirat Allah. Muaffak lalu mengisahkan perjuangannya untuk mencapai cita-citanya yang ingin beribadah haji, tapi tidak jadi berangkat.
“Saya tidak menyesal tidak jadi berhaji karena saya mengharap keridhaan Allah,” kata Muaffak.
“Tuan, andalah seorang haji yang mabrur atas ridha Allah…,” kata sang ulama kagum.

Tangan Diatas Lebih Mulia


Dengan penuh harap, lelaki berpakaian kumal itu menuju kota Madinah. Walaupun badannya terasa lelah tapi ia paksakan juga menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kabarnya, di kota ada seorang Nabi yang baru hijrah. Namanya Muhammad Saw. Orangnya sangat santun dan penuh kasih sayang pada siapa saja. Apalagi terhadap fakir miskin, Nabi itu begitu mengasihinya.

“Tentu hatinya begitu mulia. Aku akan menemuinya,” bisik lelaki itu.

Keringat yang mengucur di wajahnya tidak membuat lelaki miskin itu membatalkan niatnya. Dicarinya rumah Nabi Muhammad. Setiba di depan sebuah rumah, lelaki itu pun berseru memanggil Nabi.
“Wahai Rasulullah! Nabi kaum muslimin,” kata lelaki itu agak keras.

Sebentar kemudian muncul seorang lelaki yang berwajah meneduhkan. Sifat kasih sayangnya memancar lembut dari sorot matanya.

“Ya Rasulullah, aku ini sedang kelaparan. Anak dan istriku sedang menderita. Berilah aku sedekah, Tuan,” katanya dengan suara tertahan.

“Baik, tunggulah sebentar,” jawab Nabi lemah lembut. Nabi masuk ke rumahnya dan membawa makanan untuk lelaki miskin itu. Dengan tangannya sendiri, Nabi menyerahkan sedekah makanan pada lelaki tersebut.

“Aku hanya dapat memberikan makanan sekadarnya,” kata Rasulullah.

“Alhamdulillah. Terima kasih Tuan. Aku akan berdo’a agar Allah memberikan balasan yang berlipat,” ucap lelaki miskin itu.

“Ambillah rezeki dari Allah ini,” kata Rasulullah lagi.

Lelaki itu kemudian pergi membawa makanan dari Rasulullah ke kampungnya. Di sana, ia menyantap sedekah itu beserta anak dan istrinya.

“Sungguh dermawan Nabi umat Islam itu. Aku diperlakukannya dengan santun,” cerita lelaki itu pada anak dan istrinya.” Apa yang dikatakan orang-orang kalau Nabi Muhammad seorang yang amat mulia itu benar.”
“Kalau begitu, besok kau pergi ke rumahnya lagi. Pasti ia akan memberi sedekah yang lebih banyak,” usul istrinya.

Lelaki miskin itu diam sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Nabi Muhammad memang sangat mengasihi orang miskin. Apa pun akan di sedekahkannya dengan ikhlas karena Allah.
Keesokan harinya lelaki miskin itu datang kembali menemui Rasulullah untuk meminta sedekah. Ia amat yakin akan mendapatkannya seperti kemarin. Dengan pakaian yang robek di sana-sini, lelaki itu berdiri di depan pintu rumah Nabi.

“Ya Nabi Allah! Berilah aku sedekah. Anakku belum makan apa-apa di rumah,” pintanya memelas.
Rasulullah memandangi peminta-minta itu dengan heran.

“Bukankah kau ini orang yang datang kemarin?” tanya Nabi.

“Ya betul. Kasihanilah si miskin ini,” ujarnya.

Nabi pun masuk ke rumahnya mengambil sejumlah uang untuk lelaki miskin itu. Lalu menyedekahkannya.
“Ini untukmu. Pergunakanlah dengan baik dijalan Allah,” kata Rasulullah.

Bukan main senangnya hati lelaki itu. Rasulullah memberi sedekah uang yang cukup banyak.
Peminta-minta itu pulang sambil bersiul. Ia tak menduga akan mendapat rezeki nomplok!
Nabi Muhammad benar-benar seorang yang penyayang. Ia pun lalu membayangkan apa yang akan di sedekahkan Rasulullah padanya besok. Mungkin pakaian yang bagus atau emas permata…ah! siapa tahu? Bukankah beliau gemar bersedekah?

Lelaki itu kembali menceritakan kemurahan hati Rasulullah.

“Saya jadi ingin menemuinya,” kata isterinya.

“ Besok aku mau datang lagi meminta sedekahnya.” Lelaki itu kembali menerka-nerka barang berharga yang akan diberikan Rasululah.

“Aku jadi ingin bertemu dengan Rasulullah,” sahut isterinya tiba-tiba.
Lelaki itu mengerutkan dahinya. “Kau mau ikut denganku?”

Beberapa saat lelaki itu berpikir. Boleh juga, sesekali memebawa isteri dan anaknya menemui Nabi. Pasti akan lebih meyakinkan! Rasulullah akan iba melihat kelurganya yang hidup serba kesusahan.
“Kau boleh ikut! Kau bisa membantuku nanti,” katanya sambil tersenyum. Bahkan, lelaki itu sudah mempunyai maksud mejadi peminta-minta untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
“Tak usah capek-capek kerja keras. Cukup dengan menadahkan tangan dapat rezeki….,” pikirnya senang.
Lalu keesokan harinya peminta-minta itu membawa isteri dan anaknya ke rumah Rasulullah.
“Tuan, berilah kami sedekah sekadarnya,” katanya degan nada memelas.

“Kasihanilah kami yang melarat ini…,” timpal isterinya pula.

Rasulullah memperhatikan rombongan kecil itu. Nabi ingat benar lelaki itu yang datang kemarin meminta sedekah.

“Tunnggu sebentar,” sahut Nabi. Peminta-minta itu gembira akan diberi sesuatu oleh Nabi. Dengan sabar ia menunggu dasn mengharap rezeki yang lebih besar lagi.

Tak lama kemudian, Nabi datang membawa sebuah kapak. Melihat itu, si Pengemis tercengang.
“Sedekahku hari ini sebuah kapak untukmu,” kata Nabi.

Pengemis itu keheranan. Kenapa hari ini Rasulullah tidak memberi sedekah makanan atau uang.
“Tuan, kapak ini untuk apa? Aku minta sedekah uang atau makanan…,” saut sang Pengemis.
“Kapak ini akan lebih bermanfaat buatmu. Kau bisa menggunakannya untuk menebang pohon, memotong kayu, dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan itu dapat menghasilkan nafkah bagimu dan keluargamu,” kata Nabi.

Lelaki beserta isterinya itu tertegun. Sungguh, ia tak menduga kalau Nabi akan memberi kapak sebagai sedekah.
“ Gunakanlah kapak ini untuk mencari nafkah sehingga kau tidak meminta-minta lagi,” sahut Nabi pula.
“ Terimakasih, Tuan,” ucap lalaki itu seraya menunduk.
Orang itupun lalu pergi dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sangat malu menjadi peminta-minta untk mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal, ia belum bagitu tua. Tenaganya masih kuat untuk bekerja apa saja. Ia menyesal sudah memafaatkan kemiskinannya sebagai alasan untuk mengemis. Bukankah Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dengan sungguh-sungguh?
Sejak itu, lelaki itu tidak pernah meminta-minta lagi. Ia mencari nafkah dengan menggunakan kapak pemberian Rasulullah.
Kehidupannya pun meningkat berkat kerja keras dan ketekunannya selama ini.

Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.
Karenanya, ia bertekad tak akan menadahkan tangannya kepada manusia. Dia akan menadahkan tangannya hanya kepada Allah yang Maha Penyayang.